Thursday, October 14, 2010

Ilmu, Pembersih Hati

Ada sebait do’a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do’a tersebut berbunyi : Allaahummanfa’nii bimaa allamtanii wa’allimnii maa yanfa’uni wa zidnii ilman maa yanfa’unii. dengan do’a ini seorang hamba berharap dikurniai oleh-Nya ilmu yang bermamfaat.

Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat – memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil ertinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat darjat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan Allah.

Oleh karena itu, dalam kacamata ma’rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. “Ilmu yang berguna,” ungkapnya, “ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati.” seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, “Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri.”

Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di alam ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, “Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al Kahfi [18] : 109).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, nescaya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derjat.” (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!

Akan tetapi, walaupun hanya “setitis” ilmu Allah yang dititipkan kepada manusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, nescaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya.

Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. “Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?” Sang guru menjawab, “Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih.” Ertinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.

Karananya, jangan hairan kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikeranakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan dapat menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas.  bila kita menginginkan ilmu yang boleh menjadi ladang amal soleh, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzalimi sesama.

Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk  mendapatkan ilmu yang bermanfaat. darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudarat.

Sebaik-baik ilmu adalah yang boleh membuat hati kita bercahaya. Kerananya, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermanfaat.

Bila mendapat air yang kita timba dari lopak - lopak yang keruh, kita akan mencari tawas untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang boleh menjadi “tawas”-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap dan membawa mamfaat.
Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak boleh tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka.

Sibuk mengkaji ilmu fekah, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma’rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan hairan kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling soleh, dan menganggap orang lain sesat.

Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma’rifat, mengenal Allah. Datangilah majlis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sedar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.

Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena segalanya dari setitis ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah pemberian Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?

Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang boleh menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.

Ya Rabby ampunilah dosa ku, kerana aku insan yang lemah, jauhilah aku dari sifat-sifat yang dicela oleh Mu,
Ampunilah kami dari segala dosa yang telah kami lakukan , sesungguhnya Engkau yang Maha Pengampun. 

No comments:

Post a Comment